|
Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia
(Institute for Human
Rights Study and Advocacy of Papua)
Jl. Kampus USTP Padang Bulan–Abepura Jayapura
Telp /Fax : 62+ 0697-581600
Kembali
ke Era DOM
Intensitas konflik dan
kekerasan di Tanah Papua sejak Agustus 2011 hingga Desember 2012 menunjukan
peningkatan yang cukup signifikan. ELSHAM Papua mencatat beberapa peristiwa
yang menimbulkan korban luar biasa, namun
tidak mendapat respon dari pemerintah. Peristiwa-peristiwa tersebut seperti
Operasi Aman Matoa I 2011, Aksi-aksi teror dan penembakan oleh “Orang Tak
Dikenal” (OTK), Pengungsian Internal, serta penembakan kilat oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil.
Operasi Aman Matoa I
2011 merupakan operasi penanggulangan tindakan kriminal bersenjata di wilayah
Puncak Jaya dan Paniai. Operasi ini secara langsung dibawah perintah Kapolri,
dan dijalankan oleh Satuan Tugas Operasi (Satgas Ops) melalui Surat Telegram
Kapolri Nomor: STR/687/VIII/2011 tanggal 27 Agustus 2011. Satgas Ops Aman Matoa
I 2011 dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Drs. Leo Bona Lubis.
Selama pelaksanaan Operasi Aman Matoa I 2011 di kabupaten Paniai, terjadi
sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang meliputi: (a). Korban
tewas akibat konflik bersenjata sebanyak 2 orang, atas nama Salmon Yogi (20)
dan Yustinus Agapa (30); (b). Korban luka akibat konflik bersenjata sebanyak 4
orang, atas nama Yulian Kudiai (22), Melkias Yeimo (35), Yohanis Yogi (25) dan
Paskalis Kudiai (21); (c). Kerugian material akibat konflik bersenjata di
distrik Eduda meliputi 78 rumah dibakar oleh Satgas Ops; aktivitas pendidikan
pada 8 Sekolah Dasar (SD) dan 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak berjalan;
kegiatan ibadah pada 8 gereja Katolik, 7 gereja Kingmi dan 4 gereja GKII tidak
dapat dilakukan; ratusan parang, pisau, gergaji, martil, anak panah dan busur
disita; (d). Korban meninggal selama menjalani pengungsian sebanyak 37 orang,
teridiri dari balita sebanyak 13 orang, anak-anak sebanyak 5 orang, dewasa
sebanyak 17 orang dan usia lanjut sebanyak 2 orang; (e). Masyarakat Distrik
Komopa, Keneugida, Bibida, Paniai Timur dan Kebo mengalami kerugian material
akibat pengungsian. Kebun-kebun tidak terawat dengan baik, karena Satgas Ops
melarang masyarakat pergi ke kebun. Sebelum mengungsi, rakyat terpaksa menyembelih hewan ternak sedikitnya 1581 ekor, meliputi Babi
sebanyak 478 ekor, Sapi sebanyak 3 ekor, kambing sebanyak 11 ekor, Kelinci
sebanyak 132 ekor, bebek sebanyak 381 ekor, dan ayam sebanyak 576 ekor. Usai
mengungsi dan kembali ke kampung, warga kekurangan pasokan bahan makanan.
Satgas Ops merusak pagar milik warga untuk dijadikan sebagai kayu bakar.
Aksi-aksi kekerasan yang
dilakukan oleh aparat keamanan baik TNI maupun Polri, masih sering terjadi dan
telah melangkahi prinsip-prinsip humaniter internasional. Beberapa kasus yang
kami catat seperti:
a.
Penyerangan
oleh polisi terhadap suporter Persipura di Stadion Mandala
pada 13 Mei 2012, yang
menyebabkan 18 orang mengalami gangguan pernapasan akibat tembakan gas air
mata, serta menahan 6
orang lainnya dengan sewenang-wenang.
b.
Penembakan
oleh polisi terhadap 4 warga di Degeuwo pada 15 Mei 2012, yang mengakibatkan 1
orang meninggal dunia dan 3 lainnya menderita luka-luka.
c.
Penyerangan
oleh anggota TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili terhadap warga di Honai Lama
Wamena pada 6 Juni 2012, yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 14
lainnya mengalami luka serius.
d.
Penangkapan
sewenang-wenang
dan penyiksaan oleh aparat polisi terhadap 10 orang warga di kota Serui, ketika
memperingati Hari Internasional bagi Penduduk Pribumi, pada 9 Agustus 2012.
e.
Pembubaran
paksa aksi demonstrasi KNPB di depan kampus Universitas Negeri Papua, Manokwari
pada 23 Oktober 2012. Sebanyak 15 orang ditahan oleh polisi, 9 orang
diantaranya mengalami penyiksaan, dan 2 orang lainnya mengalami luka tembak.
Beberapa tindakan
penembakan kilat oleh Polisi terhadap aktivis pro demokrasi yang tergabung
didalam wadah Komite Nasional Papua Barat (KNPB) masih terus berlanjut. Aksi
penembakan terhadap Ketua I KNPB, Mako Tabuni (34) pada 14 Juni 2012, merupakan
bukti nyata dari brutalitas aparat terhadap warga sipil. Aksi serupa masih
kembali terulang di Wamena pada 16 Desember 2012, ketika aparat kepolisian
menembak mati Ketua Militan KNPB Baliem, Hubertus Mabel (30).
Tindakan
kekerasan lain berupa aksi-aksi teror dan penembakan oleh OTK semakin
meningkat, baik di tahun 2011 maupun 2012. Antara 5 Juli – 6 September 2011,
telah terjadi 28 aksi penembakan yang menewaskan 13 orang dan melukai
sedikitnya 32 orang. Sedangkan sepanjang tahun 2012, telah terjadi 45 aksi
penyerangan oleh OTK, telah menewaskan 34 orang, melukai 35 orang dan
menimbulkan trauma terhadap 2 orang.
Pengungsian
internal yang terjadi di Keerom sejak Juli – November 2012, merupakan salah
satu peristiwa yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Atas kerjasama
ELSHAM Papua dan Gereja Katolik Keerom, 38 orang pengungsi yang telah menetap
di hutan akhirnya dapat difasilitasi kembali ke kampung halaman mereka.
Berbagai
kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua luput dari
perhatian pemerintah pusat maupun lokal Papua. Kondisi seperti ini memberikan
indikasi bahwa Status Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus telah berubah menjadi
“Daerah Operasi Khusus”, sebagaimana yang pernah terjadi ketika kebijakan
Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan antara dekade 1970 – 2000. Impunitas
hukum terhadap para pelaku kekerasan nampak dengan tidak adanya pelaku
kekerasan yang diadili dan menerima vonis pengadilan.
Wilayah
Papua yang tertutup dari akses lembaga kemanusiaan internasional, jurnalis
internasional maupun para peneliti asing, memberikan justifikasi terhadap
meningkatnya tindak kekerasan oleh aparat keamanan di Papua. Satuan-satuan elit
seperti Detasemen 88 Anti Teror, justru menjadi momok yang menciptakan teror
terhadap aktivis gerakan demokrasi di Papua.
Mencermati
kondisi sosial-politik yang dihadapi oleh orang Papua dewasa ini, ELSHAM Papua
menyerukan agar:
1.
Pemerintah
Indonesia membuka akses terhadap lembaga kemanusiaan internasional, jurnalis
internasional maupun para peneliti asing untuk mengunjungi Papua dan memantau
kondisi HAM.
2.
Pihak
kepolisian Republik Indonesia segera mengungkap kepada publik, pelaku penyerangan
dan penembakan misterius yang selama ini kerap terjadi di Tanah Papua.
3.
Pemerintah
Indonesia dan kelompok-kelompok anti pemerintah agar menempuh dialog sebagai
cara untuk mengakhiri konflik dan kekerasan yang terus berlangsung di Tanah
Papua.
4.
TNI
dan Polri menghormati prinsip-prisip HAM Universal yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
Untuk informasi selanjutnya silakan
menghubungi:
Sem Rumbrar (Kordinator Advokasi ELSHAM Papua).
(Telp. 0967-581600, HP:
085254352395)
0 komentar:
Posting Komentar